img.emoticon { padding: 0; margin: 0; border: 0; }]]
Sharing dengan blog yuuuk ... Berbagi itu indah ... Berbagi itu membawa berkah ...

Kamis, 07 April 2011

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN KESETARAAN GENDER


A. Konsep Poligami dalam Islam
Konsep awal poligami – sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad S.a.w. pada awal masa Islam – bukanlah suatu bentuk perkawinan yang mencitrakan dominasi dan hegemoni lelaki terhadap perempuan, apalagi sampai ke tingkat dehumanisasi perempuan, melainkan bentuk perkawinan yang memiliki tujuan yang sama seperti perkawinan lainnya (monogami). Bahkan dalam perkawinan poligami ini terkandung tujuan lain yang sangat mulia, sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran (Q.S.4:3, al-Nisa), yaitu penegakan keadilan di antara isteri-isteri, dan perlindungan hak anak-anak yatim perempuan, baik perlindungan yang menyangkut harta maupun pribadinya dari perlakuan kesewenang-wenangan yang sudah mentradisi pada masa itu. Mereka tidak mendapat hak waris, begitu pula ketika mereka dikawinkan maka hak mahar dikuasai oleh walinya. Atau, bahkan si wali sama sekali tidak membolehkan anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya itu kawin dengan lelaki lain, agar ia dapat terus menguasai hartanya.
Perkawinan merupakan salah satu perikatan atau akad, yang sama seperti akad yang lain harus didasarkan pada kesepakatan para pihak yang berakad. Yakni sepasang lelaki dan perempuan yang akan melaksanakan akad nikah atau calon mempelai. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, bahwa "perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai" (Pasal 16 ayat 1). Begitu pun dalam poligami. Kesepakatan atau persetujuan para pihak ini harus dipenuhi.."Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan" (UUP, Pasal 3 ayat 2). Persetujuan yang diberikan perempuan untuk berlangsungnya perkawinan (monogami atau poligami) merupakan bentuk pengakuan hak perempuan yang setara dengan kaum lelaki.
Poligami dalam perspektif kesejarahan, baik poligami yang dilakukan pada masa pra-Islam, masa awal Islam, dan masa berikutnya merupakan permasalahan yang akan dibahas. Dengan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan memberikan gambaran yang benar tentang pengaturan poligami dalam ajaran Islam dan praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Masalah lain yang hendak diungkap adalah masalah yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat muslim di Indonesia, bagaimana peraturan /perundang-undangan di negara ini mengatur perkawinan poligami. Dengan memperoleh pemahaman yang benar, dan pelaksanaan poligami yang sesuai dengan praktek Nabi Muhammad s.a.w, akan dapat dijaga penodaan kesucian perkawinan (termasuk poligami), dan kesetaraan hak lelaki dan perempuan dalam kehidupan bersama sebagai suami isteri tanpa mempersoalkan gender.

B. Perkawinan sebagai Sebuah Perjanjian yang Kokoh dan Agung
Perkawinan menurut hukum Islam adalah penikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ungkapan kalimat miitsaaqan gholiidhan yang diambil dari firman Allah dalam al-Quran surat al-Nisa (4:21) yang artinya "perjanjian yang kokoh" itu, menurut pendapat sebagian Mufasir (ulama ahli tafsir al-Quran) maksudnya adalah perjanjian yang telah diambil Allah dari para suami, sesuai dengan maksud ayat dalam al-Quran surat al-Baqarah (2:231): "Isteri harus diperlakukan dengan baik, tetapi jika tidak hendaknya diceraikan dengan baik pula". Dari ayat ini hanya ada dua pilihan bagi suami yaitu pertama: hidup bersama isteri dan memperlakukannya dengan baik atau kedua: menceraikannya dengan cara yang baik pula. Tidak ada pilihan lain. Karena itu, hidup bersama isteri dengan menyengsarakannya – baik secara lahir maupun batin – tidak dikenal dalam ajaran Islam, dan harus memilih dua hal tersebut. (Musdah, 1999:10)
Dalam sebuah hadits yang dimuat dalam beberapa kitab hadis yang mu'tabar, antara lain dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, dan Musnad Ahmad bin Hanbal, dari sumber yang sama, Miswar bin Makhramah, ia berkata, saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda di atas mimbar. Sabda Rasulullah: "Sesungguhnya anak-anak Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan puterinya dengan Ali. Ketahuilah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan puteriku, kemudian menikahi anak mereka". "Sesungguhnya Fatimah bagian diriku. Barangsiapa membahagiakannya berarti ia membahgiakanku. Sebaliknya, barangsiapa menyakitinya berarti ia menyakitiku. (Shahih Bukhari, Hadits No.4829).
Dalam hadits tersebut terungkap sikap Rasulullah s.a.w. terhadap poligami yang akan dilakukan Ali bin Abi Thalib, menantunya, berupa dua pilihan yaitu menikahi perempuan yang ditawarkan Bani Hisyam al-Mughirah atau menceraikan Fatimah, putrid Rasulullah. Karena perbuatan Ali mendua isteri itu akan menyakiti hati puterinya, sekaligus menyakiti pula hati Rasulullah S.a.w.
Rasulullah melakukan poligami, tetapi beliau tidak merestui menantunya berpoligami. Hal ini terkait dengan sikap adil yang harus dilakukan dalam berpoligami, yang tidak semua orang akan mampu melakukannya, termasuk Ali bin Abi Thalib, padahal ia telah teruji keimanannya dan ternilai kesalihannya, namun sebagai manusia biasa ia tidak akan mampu menjalankan keadilan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah s.a.w. Firman Allah dalam al-Quran menyebutkan, "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung".(4:129, an-Nisa). Dalam suasana ketidak-adilan, bagaimana bisa tercapai tujuan perkawinan tersebut, yaitu kesejahteraan spiritual dan material, atau terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin dalam perkawinan itu.
Kemungkinan alasan lain, Rasulullah s.a.w. tidak mengizinkan mantunya berpoligami adalah karena ketika itu anak-anaknya masih kecil, masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang besar dari kedua orangtuanya. Dengan berpoligami perhatian seorang ayah kepada anak-anaknya akan terbelah. Setelah menikah lagi, seorang suami biasanya mengabaikan isteri lama dan anak-anaknya. Perhatian dan kasih sayang akan lebih tercurah pada isterinya yang baru. Suami yang berpoligami akhirnya akan terjebak dalam perilaku dzalim dan tidak adil. Oleh karena itu, perkawinan monogami adalah pilihan yang menjanjikan tercapainya tujuan perkawinan yang hakiki (Musdah, 1999:26).
Perkawinan merupakan ikatan atau perjanjian yang bersifat lahir dan batin. (Amir, 2006:40). Dalam kaitan dengan aspek batin inilah, maka seseorang yang bermaksud melaksanakan poligami harus mempertimbangkan dengan matang dan bertanya pada nuraninya, apakah dirinya mampu berlaku adil di antara isteri-isterinya dan anak-anaknya, apakah ia mampu mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material mereka. Pertimbangan tidak hanya bersandar pada kekayaan material dan kekuasaan yang menunjukkan keperkasaan (superioritas) dan dominasi lelaki terhadap perempuan, Begitu pun pertimbangan alasan memilih poligami sebagai penyaluran hasrat seksual secara halal daripada memilih penyaluran syahwat melalui perbuatan zina, merupakan solusi yang tidak tepat, malah merupakan alasan yang menunjukkan sikap arogansi kaum lelaki dalam melampiaskan keserakahan libidonya, sekaligus merendahkan martabat kaum perempuan, dengan menempatkannya sebagai objek, dan bukannya sebagai subjek yang setara dengan kaum lelaki dalam perkawinan.
Hegemoni kaum lelaki nampak sekali dalam perkawinan di kalangan masyarakat berpola budaya patriarkhi dan feodal. Asghar Ali Engineer (1999:4) menyebutkan patriarkhi sebagai 'hambatan terbesar untuk mendapatkan keadilan gender'. Perempuan dalam masyarakat ini menempati posisi subordinasi kaum lelaki. Rachman Alawy – sebagaimana dikutip Achmad Muthali'in (2001:35) – melukiskan kondisi subordinasi perempuan seperti gelas kaca dan kayu bakar. Pengibaratan dengan gelas kaca, karena perempuanlah yang sering mengalami peristiwa retak dan pecah. Sementara pengibaratan perempuan dengan kayu bakar, karena lelaki sebagai api. Lelakilah yang berpeluang membakar dan menghanguskan kayu bakar. Oleh karena itu, perempuanlah yang berpotensi terbakar menjadi debu yang tidak berarti apa-apa. Analogi atau pengibaratan ini menggambarkan kehidupan seksualitas. Kaum lelaki adalah api nafsu yang bisa
membuat gelas kaca pecah, sekaligus menyebabkan kayu bakar hangus menjadi abu yang tidak berguna. Kasus yang digambarkan dalam analogi di atas, senantiasa terjadi dalam kehidupan masyarakat dan sering ditemukan dalam mediamassa sehari-hari.

C. Poligami menjadi Sorotan
Dalam pelaksanaan perkawinan di masyarakat, dikenal beberapa istilah yaitu monogami, poligami, dan bigami. Dua istilah pertama, diakui dan dibolehkan oleh hukum/perundang-perudangan di Indonesia dan hukum Islam, disertai persyaratan yang ketat. Sementara bigami, yang artinya adalah seorang isteri atau suami mempunyai pasangan dua orang atau lebih dalam waktu yang bersamaan, bagi isteri sama sekali tidak dibenarkan. Yakni isteri mempunyai pasangan atau suami dua orang (biandria). Bersuami lebih dari seorang, atau istilah popular yang sering digunakan adalah poliandria, seperti ditemukan dalam budaya masyarakat Sparta. Kaum lelaki tidak boleh kawin lebih dari seorang kecuali dalam kondisi tertentu dibolehkan. Sementara kaum peremuan boleh mengawini lelaki sesukanya. (Al-Fatih, 2002:4). Dalam Islam tidak ditemukan dasar hukum yang membolehkannya baik dalam al-Quran maupun al-Hadits. Oleh karena itu para ahli hukum Islam sepakat mengharamkan praktek perkawinan ini, berdasarkan firman Allah dalam al-Quran (4:24,an-Nisa) yang menyatakan bahwa 'diharamkan juga kamu menikahi perempuan-perempuan yang sedang bersuami'. Artinya Perempuan yang bersuami itu tidak boleh (haram) dinikahi oleh lelaki lain. Seorang perempuan tidak boleh bersuami lebih dari seorang. Selama bersuami ia tidak boleh melakukan perkawinan dengan lelaki lain. Allah memasukkan perempuan yang bersuami lebih dari seorang ke dalam kategori perbuatan zina. Untuk mengantisipasi tindakan ini, Rasulullah s.a.w. melarang seseorang melakukan pinangan (khitbah) terhadap perempuan yang telah dipinang oleh orang lain, sampai orang itu membatalkan pinangannya, atau orang itu mengizinkan orang lain meminang perempuan tersebut. Apabila perempuan yang telah ada dalam pinangan seorang lelaki dilarang menerima pinangan lelaki lain, maka sudah pasti – sesuai dengan logika qiyas-aulawiy – perempuan yang sedang bersuami dilarang (haram) melangsungkan perkawinan dengan lelaki lain. (Abdul Aziz, 1996 : 1185, vol..4 ).
Beristeri lebih dari seorang atau istilah popularnya poligami, telah dikenal luas dalam masyarakat di seluruh dunia. Dari generasi ke generasi, praktek poligami terdapat dalam berbagai lingkungan komunitas, dilakukan oleh semua bangsa di barat dan di timur. Perkawinan dengan isteri lebih dari satu ini telah berlangsung lama bahkan jauh sebelum datang masa Islam. Jumlahnya isteri yang dikawini pun sesukanya, tidak mengenal batasan. Kehadiran Islam memberikan pengaturan dan batasan kebolehan melakukan poligami maksimal empat isteri. Untuk pelaksanaannya pun ditetapkan persyaratan mampu berbuat adil di antara isteri-isterinya. Dengan demikian, tudingan terhadap Islam bahwa Islam-lah yang mula-mula memperkenalkan praktek perkawinan poligami, sungguh tidak beralasan dan berlawanan dengan fakta. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa tradisi perkawinan poligami telah ada jauh sebelum Islam datang, terutama dilakukan di kalangan raja-raja, yang dalam pandangan rakyatnya dianggap sebagai symbol ketuhanan, oleh karena itu mereka dipandang suci. Poligami boleh dilakukan oleh mereka dengan tidak mengenal batas jumlah isteri yang dikawininya. Sayyid Amir Ali dalam The Spirit of Islam A History of Evolution and Ideals of Islam with a Life a Prophet yang ditulisnya menerangkan, bahwa kebiasaan ini dilakukan di kalangan orang-orang Hindu, Media, Babilonia, Assiria, Persi, dan Israil. (Al-Fatih, 2002:2).
Dalam agama Hindu, poligami telah dilakukan sejak dahulu kala. Berkenaan dengan poligami yang dilakukan oleh penganut agama Hindu di Indonesia, Wirjono Prodjodikoro (1960:37) dalam Hukum Perkawinan di Indonesia menjelaskan bahwa di kalangan orang Indonesia asli yang beragama Hindu berlaku ketentuan, bahwa seorang laki-laki hanya dibolehkan beristeri seorang dari kastanya sendiri, dan seorang dari masing-masing kasta yang berada di bawah kastanya sendiri. Dengan demikian, seorang yang berkasta Brahmana dapat beristeri empat orang. Yakni beristeri seorang dari sesame kastanya, ditambah tiga orang isteri dari kasta-kasta yang berada di bawah kastanya.
Selanjutnya seorang Ksatria dapat beristeri tiga orang, dan begitu seterusnya berkurang masing-masing seorang isteri pada masing-masing tingkatan kasta di bawahnya. Namun peraturan ini sering dilanggar oleh para penguasa. Mereka sering mempunyai tiga, empat, atau lima orang isteri. Bahkan di antara para raja tidak jarang yang mempunyai 80 isteri, bahkan sampai 100 isteri. Dalam agama Hindu tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah perempuan yang boleh dikawininya. Sikap masyarakat merendahkan martabat perempuan bahkan memperlakukannya seperti pada binatang atau harta benda, yakni dapat diperjual-belikan dan diwariskan terjadi di kalangan bangsa yang dikenal berperadaban tinggi, yaitu bangsa Yunani. Mereka dalam perkawinannya melakukan poligami. Orang-orang Athena misalnya, membolehkan kaum lelaki mengawini sebanyak-banyaknya perempuan yang disukainya. Namun sebaliknya disisi lain, orang Sparta melakukan poliandri, membolehkan perempuan mengawini lelaki sesukanya.
Perkawinan di kalangan orang Yahudi juga menganut poligami. Dalam perkawinan mereka membolehkan lelaki mengawini perempuan dengan jumlah tanpa batas. tertentu. Sementara di kalangan orang Kristen, poligami dilakukan selain tanpa batas juga disertai perlakuan diskriminatif antara isteri pertama dengan isteri yang lain. Perempuan-perempuan yang dimadu tidak mendapatkan hak dan jaminan yang layak sebagai isteri, seperti yang diterima isteri pertama.
Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, poligami sudah dikenal disamping bentuk perkawinan lainnya dan dilaksanakan dengan jumlah isteri yang tidak terbatas. Selain perkawinan poligami (ta'addud al-zawjat) mereka mengenal beberapa macam perkawinan. Sayyid Sabiq dalam karya yang ditulisnya, Fiqh al-Sunnah (1968:7,vol.VI) menjelaskan beberapa macam perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Arab pra-Islam (jahiliyyah) yang kemudian semuanya dihapuskan oleh Rasulullah s.a.w.
Macam-macam perkawinan pada masa Arab pra-Islam itu adalah: (1) Perkawinan al-Khidn, yaitu perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah. Mereka memandang perkawinan semacam ini bukan perbuatan yang salah selama dilakukan secara rahasia. Kemudian (2) Perkawinan al-Badal, dilakukan oleh dua orang suami yang bersepakat tukar-menukar isteri tanpa talak. Tujuannya tiada lain hanya untuk memuaskan nafsu seksual mereka. Selain itu (3) Perkawinan al-Istibdha' , yaitu perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan, lalu isterinya diperintah oleh suaminya berhubungan badan dengan lelaki lain yang dipandang terhormat karena kebangsawanannya. Setelah diketahui hamil, Suami mengambil kembali isterinya, dan bergaul sebagaimana biasa suami isteri. Maksud perbuatannya itu adalah untuk memperoleh anak yang memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan tersebut. Macam perkawinan yang lain adalah (4) perkawinan al-rahthu (kelompok), yaitu perkawinan beberapa orang lelaki dengan seorang perempuan. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu memanggil semua lelaki yang menggaulinya, lalu menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai ayah dari bayi yang dilahirkannya, tanpa boleh menolak. Dan (5) Perkawinan Syighar, yaitu seorang lelaki mengawinkan anak perempuannya tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan lelaki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuan yang ada dalam pemeliharannya.
Semua macam perkawinan yang dilakukan masyarakat Arab pra-Islam ini dihapuskan oleh Rasulullah s.a.w. karena syari'at Islam yang dibawanya tidak membenarkan segala bentuk perkawinan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kedzaliman, kekerasan, ketidak-adilan, pelecehan, pemaksaan, dan penindasan. (Musdah, 1999:7) Oleh karena itu, berkenaan dengan poligami yang sudah membudaya di masyarakat Arab ketika itu, Rasulullah s.a.w. melakukan pengaturan dengan persyaratan pokok yaitu, Pertama, membatasi jumlah isteri dalam poligami yang semula tidak terbatas menjadi paling banyak hanya empat isteri saja. Kedua, memiliki kesanggupan melaksanakan keadilan dalam melakukan poligami.

2 komentar:

  1. assalamu'alaykum..numpang mampir..jazakillahu khoir.http:http://tentarakecilku.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Wa alaikumussalam Wa rohmatullah wa barokatuh
    Alhamdulillah,, terima kasih Abu tentara kecil sudah mau mampir... ^^

    BalasHapus