img.emoticon { padding: 0; margin: 0; border: 0; }]]
Sharing dengan blog yuuuk ... Berbagi itu indah ... Berbagi itu membawa berkah ...

Rabu, 06 April 2011

Bias Gender Dalam Kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN

Komponen proses pembelajaran di dalamnya meliputi kurikulum, GBPP, PCW, Satuan Pembelajaran (SP) atau program harian, metode, media, dan materi pelajaran yang dimuat dalam buku pelajaran. Masing-masing komponen pembelajaran ini akan dilihat muatan bias gendernya yang dengan demikian sekaligus merupakan sosialisasi yang diajarkan pada siswa dalam proses pembelajaran. Kajian masing-masing komponen akan dibahas pada bab selanjutnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Bias Gender dalam Kurikulum dan GBPP
Kurikulum sebagaimana esensinya hanya memuat pokok-pokok yang bersifat umum mengenai bidang studi apa yang harus diberikan pada siswa dalam proses pembelajaran. Isi kurikulum dirumuskan mata pelajaran yang diberlakukan secara nasional, yaitu: a) Pendidikan Agama, b) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKN, c) Bahasa Indonesia, d) IPA, e) IPS, f) Kerajinan Tangan dan Kesenian atau Kertakes, dan g) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan atau Penjaskes.
Di samping mata pelajaran yang berlaku secara nasional, sesuai dengan kebijakan masing-masing Depdiknas Propinsi dan Kabupaten atau Kodya, menambah mata pelajaran lain yang dikategorikan sebagai muatan lokal. Mata pelajaran muatan lokal ini ada yang dikategorikan bersifat wajib dan ada yang bersifat tambahan. Yang terakhir ini akan disesuaikan dengan kemampuan dan fasilitas yang tersedia di masing-masing sekolah.
Dari penjabaran mengenai kurikulum tersebut, tidak tampak adanya bias gender dalam penyebutan mata pelajaran yang berlaku secara nasional maupun yang berlaku sebagai muatan lokal wajib. Tidak ditemukannya rumusan bias gender bisa jadi karena rumusan-rumusan tersebut masih bersifat umum, hanya menyebut nama mata pelajaran, belum menguraikan isi atau materi yang terkandung dalam masing-masing mata pelajaran yang dimaksud.
Penjabaran lebih rinci dari kurikulum adalah dilakukan ke dalam GBPP (Garis Besar Program Pelajaran). Dalam GBPP memuat mengenai tujuan, ruang lingkup, rambu-rambu, alokasi waktu, dan pokok bahasan masing-masing mata pelajaran. Dari sekian yang dimuat dalam GBPP tersebut, yag palig dominan adalah mengenai pokok bahasan dalam masing-masing mata pelajaran. Misalnya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, ada beberapa kosakata yang harus dikuasai oleh siswa pada masing-masing tingkat kelas. Dalam kumpulan kosakata yang harus dikuasai oleh siswa kelas 5, terdapat vkosakata “beristri” , kosakata ini tidak diikuti kosakata lain yang setara yaitu “bersuami”.
B. Bias Gender dalam Program Caturwulan dan Satuan Pembelajaran
Program Catur Wulan (PCW) sebagaimana GBPP juga memuat pokok bahasan, tetapi sedikit lebih rinci, yaitu melengkapinya dengan sub pokok bahasan sekaligus memuat contoh kegiatan atau judul bacaan yang perlu dibaca. Misalnya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada pokok bahasan “membaca cerita pendek yang sesuai untuk anak” dikemukakan contoh bacaan: “Resep dari Nenek yang Membawa Mujur”. Judul contoh bacaan ini mensosialisasikan bahwa kegiatan memasak itu dilakukan oleh nenek/perempuan, tidak oleh laki-laki. Hal ini juga dipertegas dengan isi bacaan lainnya yang juga dibuku bahasa Indonesia menyatakan bahwa “ Bu Suharti pandai memasak, dia mewarisi keahlian dari neneknya.
Sementara itu, pada SP dengan format yang berlaku saat ini dan digunakan oleh ketiga SD kasus dalam kasus penelitian ini, juga tidak mencantumkan secara terperinci mengenai materi pembelajaran. Karena itu sama halnya dalam PCW dan GBPP, hanya ditemukan sedikit kalimat yang mensosialisasikan bias gender. Sebagai contoh: dalam pelajaran bahasa Indonesia dengan tema pahlawan ditulis beberapa nama pahlawan yang kesemuanya nama laki-laki, seperti: H. Agus Salim, H. Saman Hudi, Ki Hajar Dewantara, Soekarno dan M.Hatta. ini berarti mensosiaisasikan pada siswa bahwa dominasi laki-laki pada peristiwa-peristiwa yang menggambarkan maskulinitas/kejantanan. Perempuan biasanya dipandang “kurang layak” untuk hal-hal yang bersifat maskulin, seperti kepahlawanan.

C. Bias Gender dalam Buku Pelajaran
Buku pelajaran yang memuat banyak materi pembelajaran, baik yang berupa buku paket terbitan Depdiknas maupun buku-buku tambahan dari terbitan lain, memuat banyak konsep bias gender. Jika dikelompokkan bias gender yang dimaksud mensosialisasikan bias feminim, peran domestic, serta subordinasi atau marginalisasi bagi kaum perempuan, dan sebaliknya juga dengan kaum laki-laki. Bias yang dimaksud termanifestasi dalam berbagai rumusan dan gambar suasana, kegiatan, aktifitas, penggambaran, profesi, peran, permainan, kepemilikan, tugas dan tanggung jawab yang dimiliki atau diberikan pada masing-masing jenis kelamin. Sebagai contoh:
• Risyatul Azizah senang memandang mawar merah. (sifat feminim)
• Bayu pemain bola yang hebat. (peran jantan)
• Cita-cita Dodo menjadi nahkoda. (tugas atau tanggung jawab macho)

D. Bias Gender dalam Media dan Metode Pembelajaran
Sebagaiman kita ketahui, penggunaan media dan metode pembelajaran dalam tingkat SD sangatlah terbatas. Penggunaan media di dalam kelas umumnya papan tulis dan kapur. Media lain yang juga ditemukan adalah penggunaan media gambar dan chart (tulisan atau bagan yang ditulis pada kertas ukuran besar), dan benda-benda sekitar (meski ada tetapi sangat sedikit). Sedangkan media lain yang lebih modern, seperti OHP, slide, film, atau media audio-visual lain sama sekali tidak ditemukan.
Karena terbatasnya penggunaan media, sulit menemukan adanya bias gender didalamnya, kalau ada hanya terbatas. Salah satunya berwujud dalam media gambar untuk mengenalkan pahlawan yang ditempel di dinding kelas, lebih banyak gambar-gambar pahlawan lelaki yang ditempelkan, diantaranya seperti: Ki Hajar Dewantara, Soekarno, M.Hatta, Imam Bonjol dan Agus Salim. Padahal sebenarnya juga ada pahlawan Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Dewi Sartika, dan R.A. Kartini, akan tetapi gambar mereka tidak ditemukan di dinding kelas sekolah. Dalam hal ini terjadi bias gender, yakni pada siswa disosialisasikan bahwa laki-lakilah yang dominan dan berperan besar dalam memperjuangkan Negara. Perempuan, dan pahlawan perempuan perannya dimarginalkan dalam memproses lahirnya negara ini, meski kenyataannya peran mereka tidak bisa dipandang kecil.
Dari segi media lainnya yang mungkin digunakan sebagai media pembelajaran, seperti daun, batu, ranting, dan pohon, dapat dikatakan bebas dari bias gender. Sementara itu, metode yang sangat menonjol digunakan di ketiga SD kasus adalah ceramah diselingi dengan tanya jawab dan pemberian tugas. Disamping itu juga digunakan metode praktek, khususnya untuk kemampuan keterampilan seperti menari, olahraga, keterampilan tangan, dan kesenian. Tetapi juga digunakan untuk mata pelajaran lain yang memungkinkan praktek, seperti pelajaran IPA. Dalam metode ini sangat kental dengan bias gender, khususnya bagaimana guru memperlakukan berbeda antara siswa laki-laki dan perempuan.

E. Bias Gender dalam Interaksi Guru Siswa dan Siswa Siswa
Interaksi guru dengan siswa berwujud perlakuan guru pada siswa. Sebagaimana disebutkan di atas, perlakuan bias gender terjadi ketika berlangsung penggunaan media papan tulis dan kapur. Dalam penggunaan media ini, perlakuan bias gender berwujud perintah atau permintaan untuk menghapus adalah siswa laki-laki daripada siswa perempuan. Jika permintaan alasannya karena letak papan tulisnya relative tinggi sehingga akan sempurna jika dilakukan siswa laki-laki, alasan ini kurang dapat diterima, sebab dari kasus observasi tidak sedikit siswa perempuan yang tinggi badannya setara, bahkan beberapa diantaranya lebih tinggi dari siswa laki-laki yang sering diminta menghapus papan tulis tersebut.
Metode ceramah digunakan dengan selingan tanya jawab. Dilontarkan pertanyaan pada siswa bukan saja untuk menguatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran yang disampaikan, tetapi tidak jarang pula untuk memperingatkan siswa jika yang bersangkutan tidak memperhatikan. Di sini terjadi bias perlakuan terhadap siswa, jika siswa laki-laki tidak memperhatikan, akan diperingatkan lebih keras dan diberi pertanyaan yang jumlahnya lebih banyak dibanding perempuan yang tidak memperhatikan. Bahkan beberapa kali terjadi, karena tidak bisa menjawab pertanyaan, siswa laki-laki diminta berdiri di depan kelas untuk beberapa saat, namun perlakuan seperti itu tidak diberikan pada siswa perempuan meskipun ia tidak dapat menjawab pertanyaan guru.
Pemberian tugas juga dalam wujud memberikan soal untuk dikerjakan dikelas, seperti dalam pelajaran matematika, ketika memberi kesempatan untuk maju ke depan kelas untuk mengerjakan, tidak ada perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, pada umumnya tergantung siapa yang selesai terlebih dahulu. Perbedaan terjadi ketika yang maju ke depan tidak dapat, jika yang salah itu murid laki-laki akan dinasehati dengan intensitas yang lebih lama, bahkan beberapa kali disertai dengan cubitan di telinga atau perut, khususnya pada siswa yang sering kurang memperhatikan penjelasan guru. Perlakuan semacam itu tidak ditemukan pada siswa perempuan, meski mereka juga sering kurang memperhatikan penjelasan guru.
Dalam mata pelajaran olahraga, permainan sepakbola dipandang hanya untuk anak lelaki, jikalau ada anak perempuan yang berebut menendang bola karena bole tersebut ada didekatnya maka ia akan mendapat olokan dari anak laki-laki. Begitu juga sebaliknya, dengan permainan bola bakar. Permainan tersebut cenderung dikhususkan bagi perempuan karena bersifat feminism, sedangkan sepak bola bersifat maskulin.

E. Wujud Bias Gender dalam Masing-masing Komponen
Ada beberapa wujud bias gender, diantaranya berwujud susunan kalimat tertulis yang terdapat PCW, SP, dan terutama dalam buku-buku pelajaran. Ada juga yang berbentuk gambar-gambar yang mempertegas kalimat-kalimat tersebut. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan pada masing-masing sub sub bab berikut:
1. Berwujud Rumusan Kalimat
Sosialisasi bias gender berwujud rumusan kalimat dapat dikelompokkan dalam kalimat-kalimat yang mencerminkan sifat feminism dan maskulin, kerja domestic dan public, serta termarginalisasi sekaligus tersubordinasi dan mendominasi. Kalimat yang berkaitan dengan ibu/perempuan selalu mengkonstruksikan feminimitas, kerja domestic, dan termarginalisasi sekaligus tersubordinasi. Sebaliknya, kalimat yang berkaitan dengan laki-laki selalu disosialisasikan bersifat maskulin, kerja disektor public, dan mendominasi.
Kegiatan keseharian seputar rumah yang bersifat maskulin selalu disebut dilakukan oleh laki-laki. Mengisi bak mandi, mencuci mobil, memompa sepeda, memompa air selokan, memandikan kerbau, mengandangkan kuda, dan menggembala kambing disebutkan sebagai tugas yang dilakukan oleh laki-laki. Tugas ini lebih dipandang membutuhkan kesigapan atau kekuatan, makanya harus dilakukan laki-laki.
Sebaliknya, kegiatan seputar rumah yang bersifat feminism dituangkan dalam kalimat yang menempatkan perempuan sebagai pelakunya. Menjahit baju dan menyiram tanaman, khususnya tanaman hias, disosialisasikan sebagai kegiatan feminism yang dilakukan oleh perempuan.
Adapun sifat maskulin dan feminism untuk usia anak-anak dikaitkan dengan kepemilikan benda atau permainan. Melalui kalimat, kepemilikan benda dan atau permainan tersebut disosialisasikan apa yang ‘semestinya’ menjadi miliki perempuan dan apa yang menjadi miliki laki-laki. Kepemilikan benda atau permainan yang bersifat maskulin disosialisasikan sebagai milik dan dilakukan oleh laki-laki.
Permainan dan atau kepemilikan benda seperti mobil-mobilan, kelereng, karet, kereta apian, dan bola yang dikonstruksi bersifat maskulin selalu dirumuskan dalam kalimat untuk anak laki-laki. “Adik Iwan mau beli mobil-mobilan”, “Adi mempunyai kelereng”, “Anton mempunyai bola hitam” dan sebagainya.
Sebaliknya, permainan, kepemilikan benda dan kesukaan terhadap benda yang bersifat feminism disosialisasikan dalam rumusan kalimat untuk perempuan atau anak perempuan. Kesukaan pada bunga, kepemilikan pita, dan gelang karet untuk lompat tali dirumuskan sebagai miliki perempuan.

2. Berwujud Perlakuan
Sosialisasi bias gender dalam wujud perlakuan ini tampak ketika berlangsung interaksi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa. Bagaimana guru memberikan perlakuan yang berbeda antara siswa laki-laki dan perempuan. Meski sebagian besar guru menyatakan memperlakukan sama semua siswanya, tetapi pada kenyataannya perlakuan yang berbeda tetap terjadi, khususnya yang bersifat gender. Perbedaan perlakuan tersebut berupa pengelompokan berbeda, materi pelajaran yang berbeda, penempatan posisi duduk yang berbeda, tugas upacara pada even yang berbeda, dan tugas piket berbeda.
Dalam hal pengelompokan berbeda antara siswa laki-laki dengan perempuan hanya terjadi pada pelajaran tertentu, yaitu pada mata pelajaran Menari dan Swakarya. Materi pelajaran yang berbeda, missal pada mata pelajaran olahraga biasanya anak perempuan lebih diberikan keringan dalam melakukan push-up (dengan bertumpu pada lutut) sedangkan bagi anak laki-laki tanpa ada keringanan tetap diberikan materi push-up dengan memakai tumpuan jari-jari kaki. Penempatan posisi duduk, dinyatakan bahwa laki-laki ditempatkan diposisi kanan kelas dan perempuan di kiri bagian kelas. Posisi ini dimaksudkan agar anak lelaki bisa menjaga anak perempuan, karena anak laki-laki diyakini memiliki kekuatan. Pembagian tugas piket dan pembagian tugas pada waktu upacara biasanya juga didapati bias gender, seperti anak perempuan mengepel lantai dan menyapu sedangkan anak laki-laki mendapat tugas mengangkat bangku dan pekerjaan agak berat lainnya dibanding anak perempuan. Dalam upacara, biasanya anak perempuan mendapat tugas memegang baki bendera sedangkan anak laki-laki menjadi danton (pemimpin dalam pengerek bendera).

3. Wujud dalam Gambar
Wujud bias gender dalam gambar berupa opini gender dalam masyarakat pada umumnya. Misalnya: gambar ibu yang memasak di dapur, Ani menjahit pakaian, Anton memperbaiki sepeda, Ayah mencuci mobil dan sebagainya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa muatan bias gender dalam kurikulum tidak ada sama sekali, kalimat-kalimat yang terdapat dalam kurikulum netral dari bias gender.
2. Dalam GBPP hanya ditemukan satu kata bias gender, yaitu pada kumpulan kosakata bahasa Indonesia yang harus dikuasai oleh siswa kelas V, yaitu kata ‘beristri’ yang mencerminkan subordinasi perempuan terhadap laki-laki, karena kata penyeimbang dari hal tersebut tidak ada, yaitu kata ‘bersuami’.
3. PCW juga hanya ditemukan satu kalimat yang mengindikasikan bias gender. Kalimat itu adalah ‘Resep dari Nenek yang Membawa Mujur’. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa yang bertugas memasak adalah perempuan/nenek.
4. SP contohnya bias gender yaitu tema kepahlawanan dalam bahasa Indonesia yang dominannya hanya memperjelas tentang pahlawan laki-laki, sedangkan untuk pahlawan perempuan sangat jarang dipublikasikan (disampaikan pada anak).
5. Mata Pelajaran contoh bias gender yaitu termanifestasi dalam berbagai rumusan dan gambar suasana, kegiatan, aktifitas, penggambaran, profesi, peran, permainan, kepemilikan, tugas dan tanggung jawab yang dimiliki atau diberikan pada masing-masing jenis kelamin.
6. Media, sulit menemukan bias gender di dalamnya, kalaupun ada hanya terbatas, misalnya seperti gambar pahlawan yang ditempel di kelas yang dominannya adalah pahlawan laki-laki. Dan dalam penggunaan metode sangat kental bias gendernya, khususnya bagaimana guru memperlakukan berbeda antara siswa laki-laki dan perempuan.
7. Bias gender dalam interaksi guru siswa yaitu misalnya ketika berlangsung penggunaan media papan tulis, biasanya laki-laki yang disuruh guru menghapus papan tulis. Sedangkan dalam interaksi siswa siswa contohnya dominannya siswa bermain bola dari pada siswinya.







1 komentar:

  1. Mestinya anda menyrbutkan sumbernya, bukan saja untuk kejujuran akademik tapi juga penghormatan pada penulis aslinys.

    BalasHapus