img.emoticon { padding: 0; margin: 0; border: 0; }]]
Sharing dengan blog yuuuk ... Berbagi itu indah ... Berbagi itu membawa berkah ...

Kamis, 18 November 2010

Fiqih_Nikah

PENGERTIAN NIKAH
Nikah artinya : “Suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya”.
Nikah secara bahasa adalah penggabungan atau pencampuran antara pria dan wanita. Sedangkan secara istilah syariat, nikah adalah akad antar pihak pria dengan wali wanita, sehingga hubungan badan antara kedua pasangan pria dan wanita menjadi halal.


Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syari’at Islam.

Faedah yang terbesar dalam pernikahan itu ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan, apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidup) wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangannya, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana, dan permusuhan antara sesamanya, yang mungkin juga akan menimbulkan pembunuhan yang mahadahsyat.

Meminang
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai. Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan dalam agama Islam terhadap gadis atau janda yang telah habis iddahnya; kecuali perempuan yang masih dalam “iddah ba’in”, sebaiknya dengan jalan sindiran saja.
Firman Allah Swt :
وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran…” (Al-Baqarah: ayat 235)

Adapun terhadap perempuan yang masih dalam “iddah raj’iyah”, maka haram meminangnya karena perempuan yang masih dalam iddah raj’iyah secara hokum masih berstatus sebagai istri bagi laki-laki yang menceraikannya, dan dia boleh kembali kepadanya. Demikian juga tidak diizinkan meminang seorang perempuan yang sedang dipinang oleh orang lain, sebelum nyata bahwa permintaannya itu tidak diterima.

Hukum melihat orang yang akan dipinang.
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan kepada hadis Rasulullah Saw. Berikut ini :
اذاخطب احدكم امراة فلاجناح عليه ان يتظرمنها اذا كان انماينظراليهالخطبة وان كانت لاتعلم (روه احمد)
“Apabila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak.”
(Riwayat Ahmad)

Adapula sebagian ulama yang berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat. Keterangannya adalah sabda Rasulullah Saw.:
اذاخطب احدكم امراةفان ابطاع ان ينظرمنهاالي ما يدعو ه الي نكا حها فليفعل (روه احمد وابوداود)
“Apabila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Jadi, sekiranya tidak dapat dilihat, boleh mengirimkan utusan (seorang perempuan yang dipercayai) supaya ia dapat menerangkan sifat-sifat dan keadaan perempuan yang akan dipinangnya itu. Umat Islam benar-benar telah diberi kelapangan untuk melihat seorang perempuan yang akan dipinangnya itu. Tetapi yang boleh dilihatnya adalah muka dan telapak tangan.

a. Dasar Hukum Islam
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan/dianjurkan oleh syara’.
Firman Allah s.w.t. :
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Artinya : “….maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”
(Surah An-Nisa’: ayat 3)

Firman Allah pula :

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan …!”. (Surah An-Nur: ayat 32)

b. Hukum Nikah
Hukum nikah ada lima :
1. Jaiz (boleh), ini asal hukumnya. Seseorang yang merasa terdesak oleh alasan yang mewajibkan segera menikah atau alasan yang mengharamkan menikah.
2. Sunnat, bagi orang yang berkehendak serta cukup nafkah sandang pangan dan lain-lainnya, tetapi ia masih sanggup memelihara diri dari berbuat zina.
3. Wajib, bagi orang yang cukup sandang pangan dan dikhawatirkan terjerumus ke lembah perzinaan.
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
5. Haram, bagi orang yang berkehendak menyakiti perempuan yang akan dinikahi.

c. Rukun Nikah
Rukun nikah ada lima ;
1. Pengantin laki-laki.
2. Pengantin perempuan.
3. Wali (wali si perempuan). Keterangannya adalah sabda Nabi Saw.:

ايما امرا ة نكحت بغير اذ ن وليها فنكا حها با طل (اخرجه الاربعه الا النساء)

“Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal.” (Riwayat empat orang ahli hadis, kecuali Nasai)
لاتزوج المراة المراةولاتزوج المراة نفسها (روه ابن ماجه والدارقطني)

“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.” (Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni)
4. Dua orang saksi.
Sabda junjungan kita Saw.:
لا نكاح الا بولي وشاهدي عد ل (روه احمد)


“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad)
5. Ijab dan Qabul.

d. Syarat-syarat Pengantin laki-laki
1. Tidak dipaksa/ terpaksa.
2. Tidak dalam ihram haji atau umrah.
3. Islam (apabila kawin dengan perempuan Islam)

e. Syarat-syarat Pengantin Perempuan
1. Bukan perempuan yang dalam iddah.
2. Tidak dalam perkawinan dengan orang lain.
3. Antara laki-laki dengan perempuan tersebut bukan muhrim.
4. Tidak di dalam keadaan ihram haji atau umrah.
5. Bukan perempuan musyrik.


Tiada perkawinan selain dengan wali
Allah Swt. Berfirman:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf.”
(Surah Al-Baqarah: 232)

Firman Allah Swt.mengenai wanita budak-budak::
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ
“Sebab itu kawinilah mereka (budak wanita) itu, dengan izin tuannya!”
)An-Nisa: 25)

Selain untuk itu, perlunya wali dalam perkawinan juga dikarenakan :
1. untuk menjaga hubungan rumah tangga anak dengan orang tua.
2. orang tua biasanya lebih tahu tentang bakal jodoh anaknya, sebab perawan Islam tidak patut bergaul bebas.

f. Wali dan susunan prioritasnya
Aqad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan) dan dua orang saksi yang adil.
Jumhur ulama seperti: Malik, Tsauri Laits, dan Syafi’I berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ahli waris, tetapi bukan paman dari ibu, bibi dari ibu, saudara seibu, dan keluarga dzawil arham.
Syafi’I berkata: “nikah seorang wanita tidak dapat dilakukan, terkecuali dengan pernyataan wali qarib (dekat). Jika tidak ada maka dengan wali yang jauh. Dan jika tidak ada, dengan hakim.”

Wali yang mengaqadkan nikah ada 2 macam :
1. Wali nasab.
2. Wali Hakim.

Wali nasab ialah wali yang ada hubungan darah dengan perempuan yang akan dinikahkan, yaitu :
1. Ayah dari perempuan yang akan dinikahkan itu.
2. Kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan).
3. Saudara laki-laki yang seayah dan seibu dengan dia.
4. Saudara laki-laki yang seayah dengan dia.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu seayah dengan dia.
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja dengan dia.
7. Saudara ayah yang laki-laki (pamannya dari pihak laki-laki).
8. Anak laki-laki dari paman yang dari pihak ayahnya yang sekandung, kemudian yang seayah.


Wali ayah dan datuk diberi hak menikahkan anaknya yang masih perawan (bikir) dengan tanpa izin si anak lebih dahulu, dengan orang yang dianggapnya baik. Adapun terhadap anak yang sudah janda (tsayyib) maka tidak boleh, kecuali harus ada mendapat izin dari anak itu terlebih dahulu. Sedangkan wali-wali yang selain ayah dan datuk tidak berhak mengawinkan calon mempelainya kecuali sesudah mendapat izin dari pengantin yang bersangkutan.

Wali hakim
Wali hakim ialah kepala Negara yang beragama Islam, dan dalam hal ini biasanya kekuasaannya di Indonesia dilakukan oleh Kepala Pengadilan Agama, ia dapat mengangkat orang lain menjadi Hakim (biasanya yang diangkat Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan) untuk mengaqadkan nikah perempuan yang berwali Hakim.
Sabda Rasulullah Saw.:

عن عاعشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: ايما امراة نكحت بغير اذ ن وليهافا نكا حها با طل فان دخل بها ستحل من فر جها فان شتجروا فا السلطا ن ولي من لا ولي له ( اخرحه الاربعة الا النسائ و صححه ابوعوا نة وابن حبان والحاكم)
Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “siapapun perempuan yang menikah tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya; dan jika ia telah bercampur, maka maskawinnya itu bagi perempuan itu, lantaran ia telah menghalalkan kemaluannya; dan jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka Sulthan-lah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (H.R Imam yang empat kecuali Nasa’I dan disahkan oleh Abu Awanah dan Ibnu Hibba serta Hakim)

g. Syarat-syarat wali
1. Syarat orang yang bukan Islam tidak sah menjadi wali, sebab dalam Alquran telah dinyatakan bahwa orang kafir itu tidak boleh menjadi wali yang menikahkan pengantin perempuan Islam. Hal ini sesuai dengan Alquran :

لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya : “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. ( Surah Ali-Imran: ayat 28)

Firman Allah Swt.:
لْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا ا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu).” (Al-Maidah:51)

2. Laki-laki, karena tersebut dalam hadits riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni di atas.
3. Baligh (sudah berumur sedikitnya 15 tahun) dan berakal.
4. Merdeka bukan sahaya.
5. Bersifat adil.
Perkawinannya perempuan kafir dzimmi tidak membutuhkan syarat Islamnya wali, dan perkawinan perempuan budak (amat) tidak membutuhkan sifat adilnya wali.

h. Keistemewaan bapak dari wali-wali yang lain
Bapak dan kakek diberi hak menikahkan anaknya yang bikir/perawan dengan tidak meminta izin si anak lebih dahulu, yaitu dengan orang yang dipandangnya baik. Kecuali anak yang tsayyib (bukan perawan lagi), tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya lebih dahulu. Wali-wali yang lain tidak berhak menikahkan mempelai kecuali sesudah mendapat izin dari mempelai itu sendiri.
Sabda Rasulullah Saw.:
الثيب احق بنفسها من وليها زالبكر يزوجهاابوها (روهالدر قطني)

“Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripad walinya, sedangkan anak perawan dikawinkan oleh bapaknya.” (Riwayat Daruqutni)

Ulama-ulama yang memeperbolehkan wali (bapak dan kakek) menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. tidak ada permusuhan antara bapak dan anak
2. hendakalah dinikahkan dengan orang yang setara (se-kufu)
3. maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding)
4. tidak dinikahkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar
5. tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan (membahayakan) si anak kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki itu, misalnya orang itu buta atau orang yang sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan mendapatkan kegembiraan dalam pergaulan.

i. Perempuan berwali Hakim, enggan atau keberatan wali
Wewenang wali berpindah tangan kepada hakim, apabila :
1. ada pertentangan di antara wali-wali.
Apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk menikahkannya dengan seorang laki-laki yang setingkat (se-kufu), dan walinya keberatan dengan tidak ada alasan, maka Hakim berhak menikahkannya setelah ternyata keduanya setingkat (se-kufu), dan setelah memberi nasehat kepada wali untuk mencabut keberetannya itu. Apabila ia tetap berkeberatan, maka hakim berhak menikahkan perempuan itu.

2. Bilamana walinya tak ada dalam pengertian tidak ada yang absolute (mati, hilang) atau karena gaib.
Bilamana datang laki-laki yang sepadan dan melamar kepada perempuan yang sudah baligh dan ia menerimanya tapi tak seorang pun dari walinya yang hadir waktu itu, misalnya karena gaib sekalipun tempatnya dekat, tapi diluar alamat pihak perempuan. Maka siapakah yang akan menikahkannya? Dalam keadaan seperti ini Hakim berhak meng’aqadkannya, kecuali kalau perempuan dan laki-laki yang mau kawin tersebut bersedia menanti kedatangan walinya yang gaib itu. Hal seperti ini (menanti) adalah hak bagi perempuan, sekalipun waktunya masih lama. Jika perempuan dan laki-laki tak mau menanti, tak ada alasan untuk mengharuskan meeka menanti. Dalam sebuah hadist disebutkan:
ثلا ث لا ياخرن و هن الصلا ة اذا اتت ولجنا زة اذا حضرت ولايم اذا وجدت كفؤا
(روه البيهقي عن علي)
“Tiga perkara tidak boleh ditunda-tunda, yaitu:shalat bila telah tiba waktunya, jenazah bila telah siap, dan perempuan bila ia telah ditemukan pasangannya yang sepadan.” (H.r Baihaqi dan lain-lain dari Ali).Sanadnya lemah.

j. Syarat-syarat saksi
1. Laki-laki
2. Beragama Islam
3. Akil Baligh
4. Mendengar
5. Bisa berbicara dan melihat
6. Waras (berakal)
7. Adil

Perlunya saksi dalam perkawinan, karena:
1. untuk menjaga apabila ada tuduhan atau kecurigaan polisi atau orang lain terhadap pergaulan mereka.
2 untuk menguatkan perjanjian mereka berdua, begitu pula terhadap keturunannya.

k. Ijab-qabul dan mahar (maskawin)
Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki.
Qabul yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan
Berikut adalah ucapan ijab dan qabul:
Ijab: “aku nikahkan engkau dengan Azkia anakku dengan maskawin seribu rupiah tunai”.
Qabul: “aku terima nikahnya Azkia binti Ahmad dengan maskawin seribu rupiah tunai”.

Mahar (maskawin), hukumnya wajib, suami diwajibkan memberi sesuatu kepada si istri, baik berupa uang maupun barang (harta benda), karena termasuk syarat nikah, tetapi menyebutknnya dalam nikah sunnat.
Firman Allah Swt.:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa: 4)

Maskawin tidak ada batas banyak dan sedikitnya. Pihak perempuan dan laki-laki boleh menentukannya. Mahar yang baik yang tidak terlampau mahal. Suami wajib membayar sebanyak mahar yang ditetapkan waktu ijab qabul. Jika ia bercerai dengan talak sebelum bergaul suami istri (qabla dukhul), wajib membayar seperdua mahar yang telah ditentukan, dan jika telah melakukan pergaulan suami istri, maka wajib membayar mahar semuanya.
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Artinya: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.”(Al-Baqarah: 237)


Dalam satu riwayat diterangkan pula masalah maskawin :
عن عبد الله ين عا مر بن رابعة عن ابيه رضي الله عنه ان النبي صلي الله عليه و سلم اجا ز نكاح امراة علي نعلين (اخرجهالترميذي و صححه و خلف في ذلك)
Artinya: “Dari Abdillah bin Umar Rabi’ah dari ayahnya ra.: bahwasanya Nabi saw membolehkan menikahi seorang perempuan dengan maskawin sepasang sandal/terompah”. (H.R. Tirmidzi dan disahkannya hadits ini dari perselisihan)

A. Suami
Kewajiban suami memberikan nafkah mencukupi kebutuhan hidup berumah tangga, seperti tempat tinggal, nafkah sehari-hari dan pakaian. Tiga bahan pokok ini perlu dan wajib dipenuhi oleh suami sebagaimana mestinya sesuai dengan kesanggupannya. Selain tiga tersebut, harus juga memperhatikan keperluan yang setengah pokok, seperti cucian, pembantu rumah tangga, perhiasan dan perabot rumah tangga. Juga harus menjaga anak dan istri dari pada perbuatan-perbuatan durhaka dengan jalan mendidiknya menrurut kesanggupannya.
Hak suami terhadap istri : tidak memasukkan orang yang dibenci suaminya, bakti istri kepada suaminya, berdusta antara suami istri, menetapkan istri dirumah suami, memindahkan istri, istri mensyaratkan tidak mau keluar rumah, melarang istri bekerja, menuntut ilmu, menghukum istri karena menyeleweng, istri berhias untuk suaminya.

B. Istri
Kewajiban istri antara lain:
1. mentaati suami
2. tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
3. menggauli suaminya sebaik-baiknya
Hak istri terhadap suami:hak kebendaan (mahar dan nafkah) dan hak rohaniah (seperti melakukannya dengan adil jika suami berpoligami dan tidak boleh membahayakan istri).

Istri Nusyuz (durhaka)
Apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hokum syara’, tindakan itu dipandang durhaka.seperti hal-hal dibawah ini :
1. suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau pindah kerumah itu; atau istri meninggalkan rumah tangga tanpa izin suami.
2. apabila suami istri tinggal di rumah kepunyaan istri dengan izin istri, kemudian pada suatu waktu istri mengusir (melarang) suami masuk rumah itu, dan bukan karena minta pindah ke rumah yang disediakan oleh suami.
3. umpamanya istri menetap di tempat yang disediakan oleh perusahaannya, sedangkan suami minta supaya istri menetap di rumah yang disediakannya, tetapi istri berkeberatan dengan tidak ada alasan yang pantas.
4. apabila istri bepergian dengan tidak beserta suami atau mahramnya, walaupun perjalanan itu wajib, seperti pergi haji; karena perjalanan perempuan yang tidak beserta suami atau muhrim terhitung maksiat.

Apabila suami melihat gelagat bahwa istrinya akan durhaka, ia harus menasehatinya dengan sebaik-baiknya. Apabila sesudah dinasehati tetapi masih juga terus tampak durhakanya, hendaklah suami berpisah tidur dengan istri. Kalau dia juga masih meneruskan kedurhakaannya, maka diperbolehkan memukulnya, tetapi jangan sampai merusak badannya.
Firman Allah Swt.:
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (An-Nisa: 34)

Akibat kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri “menerima belanja, pakaian, dan pembagian waktu”. Berarti dengan adanya durhaka istri, ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami dan si istri tidak berhak menuntutnya.
Firman Allah Swt:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (Al-Baqarah: 228)

PEREMPUAN YANG HARAM DIKAWINI
Perempuan yang haram dikawini ada 14 orang, yang diharamkan 7 karena keturunan, yaitu:
1. Ibu dan seterusnya ke atas
2. Anak perempuan dan seterusnya ke bawah
3. Saudara perempuan ( sekandung, seayah, atau seibu)
4. Bibi (saudara ibu, baik yang sekandung atau dengan perantaraan ayah atau ibu)
5. Bibi (saudara ayah, baik yang sekandung atau dengan perantaraan ayah atau ibu)
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan terus ke bawah
7. Anak perempuan dari saudara perempuan dan terus ke bawah.

Yang diharamkan 2 karena susuan:
1. Ibu yang menyusui
2. Saudara perempuan yang mempunyai hubungan susuan

Yang 4 diharamkan karena hubungan perkawinan:
1. Ibu istrinya (mertuanya) dan seterusnya ke atas, baik ibu dari keturunan atau susuan
2. Rabibah, yaitu anak tiri (anak istri yang dikawinkan dengan suami lain), jika sudah bercampur dengan ibunya
3. Istri ayah dan seterusnya ke atas
4. Istri anaknya yang laki-laki (menantu) dan seterusnya ke bawah
Dan satu lagi diharamkan karena mengumpulkan, yaitu saudara perempuan dari istri, juga tidak boleh dikumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya.
5. Wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayah, kakek (datuk) sampai ke atas. Sebagaimana dinyatakan dalam Akl-Quran:

إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ
Artinya : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisa: 22)


HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN
a. melihat bakal istri: bagi laki-laki yang hendak meminang disunnatkan lebih dahulu melihat perempuan yang hendak dinikah/dipinangnya jika diharap pinangan itu akan diterima. Juga sebaliknya bagi perempuan disunnatkan pula melihat terlebih dahulu laki-laki bakal suaminya. Namun boleh juga melihat calon istri itu dengan perantaraan orang lain.
b. Meminang; perempuan yang boleh dipinang adalah perempuan yang masih sendirian, bukan istri orang tidak dalam iddah, dan tidak sedang dalam pinangan orang lain, hukumnya haram jika pinangan itu telah diterima oleh pihak perempuan. Adapun sebelum diterimanya maka tidak haram. Karena itu baik dan sunnat bagi orang yang sudah dipinang mengumumkan pinangannya kepada umum.sebelumnya telah dijelaskan lebih awal mengenai masalah pinangan.
c. Sifat perempuan dan laki-laki yang baik
a.) yang beragama Islam dan menjalankannya
b.) turunan orang yang berkembang (mempunyai keturunan yang sehat)
c.) perawan dan turunan orang baik-baik, berperangai baik dan kufu’ (mempunyai keseimbangan baik derajatnya maupun keturunannya)


KUFU’
Kufu’ berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud kufu’ dalam perkawinan, yaitu: laki-lai sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat social dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.
Tidaklah diragukan jika kedudukan antara lelaki dan perempuan sebanding, akan merupakan factor kebahagiaan hidup suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Kufu’ diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Oleh imam Ahmad, kufu’ dimaksudkan adalah dengan ukuran Agama semata-mata.

Yang menentukan ukuran kufu’ itu ialah laki-laki dan bukan perempuan. Laki-laki yang dikenai persyaratan itu hendaknya ia kufu’ dan setaraf dengan perempuannya, dan bukan sebaliknya, yaitu perempuan yang harus kufu’ dengan laki-laki.
Alasan-alasannya.
Pertama: Nabi Saw. Bersabda:
ان النبي (ص) قال : من كان عند ه جا رية فعلمها واحسن تعليمها واحسن اليها ثم اعتقها وتزوجها فله اجران (روه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang mempunyai budak perempuan lalu diajarkannya dengan pelajaran yang baik kepadanya, kemudian dimerdekakan dan terus dinikahinya, maka baginya dua pahala.” (Bukhari dan Muslim)

Kedua: istri yang tinggi kedudukannya biasanya ia merasa ‘aib, baik secara pribadi maupun malinya bilaman ia dikawinkan dengan laki-laki yang tidak kufu’. Tetapi laki-laki yang terpandang tidak dianggap ‘aib jika istrinya itu berada dibawah derajatnya.

Ketiga: Nabi Saw. Adalah orang yang tidak ada bandingannya dalam masalah kedudukannya, namun beliau menikahi perempuan suku Arab, bahkan dengan Shafiyyah binti Huyaiyi, seorang perempuan Yahudi yang telah masuk Islam.

2 komentar:

  1. ilmunya sangat bermanfaat mba,
    makasih banyak... ^_^
    ditunggu artikel selanjutnya...

    BalasHapus
  2. iya mas... makasih udah ngikutin perkembangan saya yah.... =)

    BalasHapus